Rabu, 17 Agustus 2016

KPHP Model Mandailing Natal - Identifikasi Lahan Kritis Tahun 2016

Kegiatan Identifikasi Lahan Kritis Tahun 2016
Maybe to the point ....!



PEMERINTAH KABUPATEN MANDAILING NATAL
DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
UPTD KPHP MODEL MANDAILING NATAL
KOMPLEK PERKANTORAN PAYALOTING Telp. / Fax. 0636-326168
PANYABUNGAN





IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS
PADA WILAYAH TERTENTU
KPHP MODEL MANDAILING NATAL
DI DESA AMPUNG JULU
KECAMATAN BATANG NATAL KABUPATEN MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA
TAHUN 2016






Sebagian besar masyarakat Desa Ampung Julu bermata pencaharian sebagai petani, buruh tani, serta masyarakat yang mengelola areal kawasan hutan dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa pengelolaan gula aren. Pengelolaan kawasan hutan sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan secara turun temurun. Berdasarkan fungsi kawasan KPHP Model Mandailing Natal, Desa Ampung Julu Kecamatan Batang Natal termasuk ke dalam kawasan Hutan Produksi dan Blok Pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2  berikut :


Gambar 2 . Overlay  Peta Berdasarkan Fungsi Kawasan dan Blok Fungsi





Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan wawancara dengan Bapak kepala Desa Ampung Julu, Bapak Hapisuddin Siregar diperoleh hasil, bahwa tentang kebijakan pemberdayaan masyarakat dari instansi pemerintahan belum pernah ada dilakukan, namun dari pihak Non Government Organization (NGO) khususnya Sumatera Rainforest Institute (SRI) sudah melakukan pelatihan budidaya kopi bersama masyarakat dan sudah berlangsung selama 2 (dua) bulan. Sebagian masyarakat sudah menerapakan teknik budidaya tersebut dan masyarakat juga sangat antusias serta berpartisipasi aktif.

Interaksi masyarakat dengan sumber daya hutan
Masyarakat Desa Ampung Julu berinteraksi dengan hutan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa pengelolaan gula aren serta berkebun karet di lahan masyarakat.

Teknik Pengelolaan Lahan
Teknik pengelolaan lahan yang pernah dilakukan masyarakat Desa Ampung Julu adalah dengan menggarap lahan milik pribadi melalui bertani dan bercocok tanam seperti berkebun karet, kayu manis, dan sayur – mayur.

 Kerusakan-kerusakan yang Pernah Terjadi pada Lahan dan Kawasan
Dari hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa, diperoleh bahwa kerusakan – kerusakan yang pernah terjadi pada lahan dan kawasan hanya sebatas erosi – erosi kelas ringan dan hanya berdampak pada pengairan sawah yang menjadi keruh akibat dari pengikisan tanah hasil erosivitas.

 Pemanfaatan Sumber Daya Hutan oleh Masyarakat maupun Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal belum pernah melakukan pemanfaatan sumber daya hutan di Desa Ampung Julu. Pemanfaatan sumber daya hutan hanya dilakukan oleh masyarakat desa sekitar, khususnya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, yakni pemanfaat gula aren yang siap dipasarkan.

Hasil Pengumpulan Data dan Studi Literatur
Data-data parameter penentuan lahan kritis yaitu :
 Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir yang dinyatakan dengan satuan mm. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu millimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.
Berdasarkan SK. No. 579/ Menhut-II/ 2014 Tanggal 24 Juni 2014, tentang tentang data curah hujan kawasan KPHP Model Mandailing Natal, yang diterbitkan oleh BPKH Wilayah Medan, setelah melakukan tumpang susun (overlay) secara spatial dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Overlay  Peta Berdasarkan Intensitas Curah Hujan dan DAS


 
Dari Gambar 2 dapat disimpulkan bahwa, Desa Ampung Julu yang berada di Kecamatan Batang Natal memiliki tingkat curah hujan dengan kisaran 2000 – 3000 mm/ tahun dan termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Natal. Hal ini dapat dikaitkan dengan sistem pembagian iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt – Ferguson. Schmidt Ferguson mengkasifikasikan iklim berdasarkan ukuran bulan basah, bulan lembab dan bulan kering. Kriteria tersebut mengacu pada jumlah curah hujan yang diterima setiap daerah.
Schmidt–Ferguson mengklasifikasikan iklim berdasarkan jumlah rata-rata bulan kering dan jumlah rata-rata bulan basah. Suatu bulan disebut bulan kering, jika dalam satu bulan terjadi curah hujan kurang dari 60 mm. Disebut bulan basah, jika dalam satu bulan curah hujannya lebih dari 100 mm, ataupun dapat dijelaskan sebagai berikut :

Bulan Basah (BB)   : jumlah curah hujan lebih dari 100 mm/bulan.
Bulan Lembab (BL)            : jumlah curah hujan antara 60-100 mm/bulan.
Bulan Kering (BK)  : jumlah curah hujan kurang dari 60 mm/bulan

Iklim Schmidt dan Ferguson sering disebut juga Q model karena didasarkan atas nilai Q. Nilai Q merupakan perbandingan jumlah rata - rata bulan kering dengan jumlah rata-rata bulan basah. Nilai Q dirumuskan sebagai berikut.


Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Mandailing Natal yang bersumber dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura, Kabupaten Mandailing Natal memiliki jumlah rata – rata Curah Hujan (CH) = 1.853 mm/ tahun serta jumlah hari hujan = 18 hari/ bulan. Mengacu pada sistem klasifikasi iklim Schmidt – Ferguson, maka areal yang teridentifikasi lahan kritis, yang secara administratif terletak di Desa Ampung Julu, Kecamatan Batang Natal, termasuk dalam tipe Iklim A (Sangat Basah)

Kelas Kelerengan Lereng adalah kenampakan permukan alam disebabkan adanya beda tinggi apabila beda tinggi dua tempat tesebut di bandingkan dengan jarak lurus mendatar sehingga akan diperoleh besarnya kelerengan. Bentuk lereng bergantung pada proses erosi juga gerakan tanah dan pelapukan. Leeng merupakan parameter topografi yang terbagi dalam dua bagian yaitu kemiringan lereng dan beda tinggi relatif, dimana kedua bagian tersebut besar pengaruhnya terhadap penilaian suatu bahan kritis. Bila dimana suatu lahan yang lahan dapat merusak lahan secara fisik, kimia dan biologi, sehingga akan membahayakan hidrologi produksi pertanian dan pemukiman. Setelah melakukan tumpang susun (overlay) secara spatial dengan SK. No. 579/ Menhut-II/ 2014 Tanggal 24 Juni 2014, tentang peta kelas kelerengan pada kawasan KPHP Model Mandailing Natal, khususnya pada areal identifikasi lahan kritis dapat ditarik kesimpulan ataupun dapat dilihat pada Gambar 4




Gambar 4. Overlay  Peta Berdasarkan Kelas Kelerengan dan Ketinggian
 

Peta Kelerengan atau kemiringan lahan adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan o (derajat). Informasi spasial  kelerengan mendeskripsikan kondisi permukaan lahan, seperti datar, landai, atau kemiringannya curam. Dari Gambar 3 dapat diamati bahwa, areal identifikasi lahan kritis, memiliki kelas kelerengan > 40% (sangat curam) dan berada pada ketinggian 500 – 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl).


Jenis Tanah

Tanah adalah campuran bagian – bagian batuan dengan material serta bahan organik yang merupakan sisa kehidupan yang timbul pada permukaan bumi akibat erosi dan pelapukan karena proses waktu. Tanah terdiri dari berbagai jenis. Jenis tanah dari satu daerah dengan daerah lainnya berbeda tergantung dari komponen yang ada di dalam daerah tersebut. Jenis-jenis tanah yang ada di dunia berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya tergantung pada lingkungan yang ada di dalam daerah tersebut.Pada areal identifikasi lahan kritis di Desa Ampung Julu, belum tersedianya data sekunder tentang jenis tanah yang terdapat pada lokasi tersebut.

Berdasarkan ciri dan karakteristik serta keadaan alamnya, jenis tanah yang terdapat pada lokasi tersebut termasuk dalam jenis tanah Latosol. Penyebaran jenis tanah di Indonesia, tanah Latosol tersebar di daerah iklim basah, curah hujan ± 300 mm/ tahun, serta ketinggian tempat berkisar 300 – 1.000 mdpl. Ciri-ciri dari tanah latosol adalah warnanya yang merah hingga kuning, teksturnya lempung dan memiliki solum horizon tanah latosol tidak terlalu subur karena mengandung zat besi dan alumunium. Hal ini sesuai dengan data – data sekunder yang ada dan terdapat pada lokasi areal identifikasi lahan kritis tersebut. 


Penggunaan  Lahan dan Penutupan Lahan
Penggunaan lahan (land use) adalah pengaturan, kegiatan dan input terhadap jenis tutupan lahan tertentu untuk menghasilkan sesuatu, mengubah atau mempertahankannya. Sedangkan, tutupan lahan (land cover) adalah kondisi kenampakan biofisik permukaan bumi yang diamati. Analisis akan lebih efektif jika data yang dihasilkan dari kedua istilah tersebut digabungkan karena memungkin mendeteksi lokasi perubahan terjadi, perubahan tipe dan bagaimana suatu lahan berubah. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban/ aktivitas manusia yang menghuninya.
        Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutup lahan penting untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolahan lahan di permukaan bumi. Istilah penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Contoh vegetasi, lahan kosong, dan lahan terbangun adalah penutup lahan. Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan hasil pengolahan manusia yang memanfaatkan suatu lahan untuk tujuan tertentu. Contohnya seperti sawah, gedung pemukiman. Penggunaan lahan pada Desa Ampung Julu, Kecamatan Batang Natal dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Overlay  Peta Berdasarkan Penggunaan Lahan


 

 

0 komentar:

Posting Komentar