Maybe to the point ....!
PEMERINTAH KABUPATEN MANDAILING
NATAL
DINAS
KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
UPTD
KPHP MODEL MANDAILING NATAL
KOMPLEK PERKANTORAN PAYALOTING Telp. / Fax. 0636-326168
IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS
PADA WILAYAH TERTENTU
KPHP MODEL MANDAILING NATAL
DI DESA AMPUNG JULU
KECAMATAN BATANG NATAL KABUPATEN MANDAILING
NATAL SUMATERA UTARA
TAHUN 2016
Sebagian besar masyarakat Desa Ampung Julu bermata pencaharian sebagai
petani, buruh tani, serta masyarakat yang mengelola areal kawasan hutan dengan memanfaatkan
hasil hutan bukan kayu berupa pengelolaan gula aren. Pengelolaan kawasan
hutan sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan secara turun temurun. Berdasarkan
fungsi kawasan KPHP Model Mandailing Natal, Desa Ampung Julu Kecamatan Batang
Natal termasuk ke dalam kawasan Hutan Produksi dan Blok Pemberdayaan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
Gambar 2 . Overlay Peta Berdasarkan Fungsi Kawasan dan Blok
Fungsi
Kebijakan Pemberdayaan
Masyarakat
Berdasarkan wawancara dengan Bapak kepala Desa
Ampung Julu, Bapak Hapisuddin Siregar diperoleh hasil, bahwa tentang kebijakan
pemberdayaan masyarakat dari instansi pemerintahan belum pernah ada dilakukan,
namun dari pihak Non Government
Organization (NGO) khususnya Sumatera Rainforest Institute (SRI) sudah
melakukan pelatihan budidaya kopi bersama masyarakat dan sudah berlangsung
selama 2 (dua) bulan. Sebagian masyarakat sudah menerapakan teknik budidaya
tersebut dan masyarakat juga sangat antusias serta berpartisipasi aktif.
Interaksi masyarakat dengan sumber daya hutan
Masyarakat Desa Ampung Julu berinteraksi dengan
hutan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa pengelolaan gula aren
serta berkebun karet di lahan masyarakat.
Teknik Pengelolaan Lahan
Teknik pengelolaan lahan
yang pernah dilakukan masyarakat Desa Ampung Julu adalah dengan menggarap lahan
milik pribadi melalui bertani dan bercocok tanam seperti berkebun karet, kayu
manis, dan sayur – mayur.
Kerusakan-kerusakan yang Pernah Terjadi pada Lahan
dan Kawasan
Dari hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa,
diperoleh bahwa kerusakan – kerusakan yang pernah terjadi pada lahan dan
kawasan hanya sebatas erosi – erosi kelas ringan dan hanya berdampak pada
pengairan sawah yang menjadi keruh akibat dari pengikisan tanah hasil
erosivitas.
Pemanfaatan Sumber
Daya Hutan oleh Masyarakat maupun Pemerintah
Pemerintah Kabupaten
Mandailing Natal belum pernah melakukan pemanfaatan sumber daya hutan di Desa
Ampung Julu. Pemanfaatan sumber daya hutan hanya dilakukan oleh masyarakat desa
sekitar, khususnya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, yakni pemanfaat gula
aren yang siap dipasarkan.
Hasil
Pengumpulan Data dan Studi Literatur
Data-data parameter
penentuan lahan kritis yaitu :
Curah Hujan
Curah
hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,
tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir yang dinyatakan dengan satuan mm. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya
dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi
satu millimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.
Berdasarkan SK. No. 579/ Menhut-II/ 2014 Tanggal 24 Juni 2014, tentang tentang
data curah hujan kawasan KPHP Model Mandailing Natal, yang diterbitkan oleh BPKH
Wilayah Medan, setelah melakukan tumpang susun (overlay) secara spatial dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Overlay Peta Berdasarkan Intensitas Curah Hujan dan
DAS
Dari Gambar 2 dapat disimpulkan bahwa, Desa Ampung Julu yang berada di
Kecamatan Batang Natal memiliki tingkat curah hujan dengan kisaran 2000 – 3000
mm/ tahun dan termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Natal. Hal
ini dapat dikaitkan dengan sistem pembagian iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt
– Ferguson. Schmidt Ferguson mengkasifikasikan iklim berdasarkan ukuran bulan
basah, bulan lembab dan bulan kering. Kriteria tersebut mengacu pada jumlah
curah hujan yang diterima setiap daerah.
Schmidt–Ferguson mengklasifikasikan iklim berdasarkan jumlah rata-rata
bulan kering dan jumlah rata-rata bulan basah. Suatu bulan disebut bulan
kering, jika dalam satu bulan terjadi curah hujan kurang dari 60 mm. Disebut
bulan basah, jika dalam satu bulan curah hujannya lebih dari 100 mm, ataupun
dapat dijelaskan sebagai berikut :
Bulan Basah
(BB) : jumlah curah hujan lebih dari
100 mm/bulan.
Bulan
Lembab (BL) : jumlah curah
hujan antara 60-100 mm/bulan.
Bulan
Kering (BK) : jumlah curah hujan kurang
dari 60 mm/bulan
Iklim Schmidt dan Ferguson sering disebut juga Q model karena didasarkan
atas nilai Q. Nilai Q merupakan perbandingan jumlah rata - rata bulan kering
dengan jumlah rata-rata bulan basah. Nilai Q dirumuskan sebagai berikut.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik
(BPS) Mandailing Natal yang bersumber dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan
Hortikultura, Kabupaten Mandailing Natal memiliki jumlah rata – rata Curah
Hujan (CH) = 1.853 mm/ tahun serta jumlah hari hujan = 18 hari/ bulan. Mengacu
pada sistem klasifikasi iklim Schmidt –
Ferguson, maka areal yang teridentifikasi lahan kritis, yang secara
administratif terletak di Desa Ampung Julu, Kecamatan Batang Natal, termasuk
dalam tipe Iklim A (Sangat Basah)
Kelas
Kelerengan
Lereng adalah kenampakan permukan alam disebabkan
adanya beda tinggi apabila beda tinggi dua tempat tesebut di bandingkan dengan
jarak lurus mendatar sehingga akan diperoleh besarnya kelerengan. Bentuk
lereng bergantung pada proses erosi juga gerakan tanah dan pelapukan. Leeng
merupakan parameter topografi yang terbagi dalam dua bagian yaitu kemiringan
lereng dan beda tinggi relatif, dimana kedua bagian tersebut besar pengaruhnya
terhadap penilaian suatu bahan kritis. Bila dimana suatu lahan yang lahan dapat
merusak lahan secara fisik, kimia dan biologi, sehingga akan membahayakan
hidrologi produksi pertanian dan pemukiman. Setelah
melakukan tumpang susun (overlay) secara spatial dengan SK. No. 579/ Menhut-II/
2014 Tanggal 24 Juni 2014, tentang peta kelas kelerengan pada kawasan KPHP
Model Mandailing Natal, khususnya pada areal identifikasi lahan kritis dapat
ditarik kesimpulan ataupun dapat dilihat pada Gambar 4
Gambar 4. Overlay Peta Berdasarkan Kelas Kelerengan dan
Ketinggian
Peta Kelerengan atau kemiringan lahan adalah
perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak
mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan,
diantaranya adalah dengan % (persen) dan o (derajat). Informasi
spasial kelerengan mendeskripsikan
kondisi permukaan lahan, seperti datar, landai, atau kemiringannya curam. Dari Gambar 3 dapat diamati bahwa, areal identifikasi
lahan kritis, memiliki kelas kelerengan > 40% (sangat curam) dan berada pada
ketinggian 500 – 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Jenis
Tanah
Tanah adalah campuran bagian – bagian batuan dengan
material serta bahan organik yang merupakan sisa kehidupan yang timbul pada
permukaan bumi akibat erosi dan pelapukan karena proses waktu. Tanah terdiri
dari berbagai jenis. Jenis tanah dari satu daerah dengan daerah lainnya berbeda
tergantung dari komponen yang ada di dalam daerah tersebut. Jenis-jenis tanah
yang ada di dunia berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya tergantung pada lingkungan
yang ada di dalam daerah tersebut.Pada areal identifikasi lahan kritis di Desa
Ampung Julu, belum tersedianya data sekunder tentang jenis tanah yang terdapat
pada lokasi tersebut.
Berdasarkan ciri dan karakteristik serta keadaan alamnya,
jenis tanah yang terdapat pada lokasi tersebut termasuk dalam jenis tanah
Latosol. Penyebaran jenis tanah di Indonesia, tanah Latosol tersebar di daerah
iklim basah, curah hujan ± 300 mm/ tahun, serta ketinggian tempat berkisar 300
– 1.000 mdpl. Ciri-ciri dari tanah latosol adalah warnanya yang merah hingga
kuning, teksturnya lempung dan memiliki solum horizon tanah latosol tidak
terlalu subur karena mengandung zat besi dan alumunium. Hal ini sesuai dengan
data – data sekunder yang ada dan terdapat pada lokasi areal identifikasi lahan
kritis tersebut.
Penggunaan
Lahan dan Penutupan Lahan
Penggunaan
lahan (land use) adalah
pengaturan, kegiatan dan input terhadap jenis tutupan lahan tertentu untuk
menghasilkan sesuatu, mengubah atau mempertahankannya. Sedangkan, tutupan lahan (land cover) adalah
kondisi kenampakan biofisik permukaan bumi yang diamati. Analisis akan lebih
efektif jika data yang dihasilkan dari kedua istilah tersebut digabungkan
karena memungkin mendeteksi lokasi perubahan terjadi, perubahan tipe dan
bagaimana suatu lahan berubah. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena
penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban/ aktivitas manusia yang
menghuninya.
Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan
penutup lahan penting
untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolahan lahan di permukaan bumi. Istilah
penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi.
Contoh vegetasi, lahan kosong, dan lahan terbangun adalah penutup lahan.
Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan hasil pengolahan manusia yang
memanfaatkan suatu lahan untuk tujuan tertentu. Contohnya seperti sawah, gedung
pemukiman. Penggunaan lahan pada Desa Ampung
Julu, Kecamatan Batang Natal dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Overlay Peta Berdasarkan Penggunaan Lahan
0 komentar:
Posting Komentar